BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu kenyataan hidup bahwa
manusia itu tidak sendiri manusia hidup berdampingan, bahkan
berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antar sesamanya. Hubungan
itu terjadi berkenaan dengan kebutuhan hidupnya yang tidak mungkin selalu dapat
dipenuhi sendiri. Kebutuhan hidup manusia bermacam-macam. Pemenuhan kebutuhan
hidup tergantung dari hasil yang diperoleh melalui daya upaya yang dilakukan.
Setiap waktu manusia ingin memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalau dalam saat
yang bersamaan dua manusia ingin memenuhi kebutuhan yang sama dengan hanya satu
objek kebutuhan, sedangkan keduanya tidak mau mengalah, bentrokan dapat
terjadi. Suatu bentrokan akan terjadi juga dalam suatau hubungan, antara
manusia satu dan manusia lain ada yang tidak memenuhi kewajiban.
Hal-hal semacam itu
sebenarnya merupakan akibat dari tingkah laku manusia yang ingin bebas. Suatu
kebebasan dalam bertingkah laku tidak selamanya akan menghasilkan sesuatu yang
baik, apalagi kalau kebebasan tingkah laku seseorang tidak dapat diterima oleh
kelompok sosialnya. Oleh karena itu, untuk menciptakan ketentraman dalam suatu
kelompok sosial, baik dalam situasi kebersamaan maupun dalam situasi sosial
diperlukan ketentuan-ketentuan. Ketentuan itu untuk membatasi kebebasan tingkah
laku itu. Ketentuan-ketentuan yang diperlukan adalah ketentuan yang timbul dari
dalam pergaulan hidup atas dasar kesadaran dan biasanya dinamakan hukum.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa contoh-contoh kasus dari hukum publik?
2. Apa contoh-contoh kasus dari hukum privat?
3. Bagaimana penyelesaian kasus dari hukum tersebut?
C.
Tujuan
1. Mengetahui contoh-contoh kasus dari hukum publik
2. Mengetahui contoh-contoh kasus dari hukum privat
3. Mengetahui bagaimana penyelesaian kasus dari hukum
tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM
PUBLIK
I.
Contoh Kasus Hukum Administrasi
Negara
Pemerintah Kota Jakarta Barat membongkar
80 rumah yang dibangun di bantaran sungai di 8 kecamatan yang ada di Jakarta
Barat. Dalam kasus ini pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan persyaratan izin
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang yakni terdapat pelanggaran mengenai
garis sempadan sungai.
Sanksi administrasi yang diberikan yang
pertama adalah surat peringatan secara berjenjang namun apabila tidak
ditanggapi maka dilakukan pembongkaran bangunan Keberadaan bangunan tersebut
juga dinilai sebagi salah satu faktor penyebab banjir
Bentuk Sanksi Administratif
Pelanggaran tersebut dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Pasal 62 UU 26 tahun 2007 yakni Setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi
administratif. Sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental, yaitu
pengendalian perbuatan yang dilarang. Disamping itu, sanksi administrasi
terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan
yang dilanggar tersebut (Siti Sundari Rangkuti, 2005:217)
Bentuk sanksi tersebut dapat berupa:
·
peringatan tertulis;
·
penghentian sementara kegiatan;
·
penghentian sementara pelayanan umum;
·
penutupan lokasi;
·
pencabutan izin;
·
pembatalan izin
·
pembongkaran bangunan
Bentuk
pelanggaran yang bersifat administrasi tersebut juga dapat dikenakan saksi
pidana melalui kebijakan kriminalisasi, yaitu upaya untuk menjadikan suatu
perbuatan tertentu (dalam hukum administrasi) sebagai perbuatan yang dapat
dipidana/dijatuhi/dikenakan sanksi pidana. Proses kriminalisasi ini dapat
diakhiri dengan terbentuknya atau lahirnya undang-undang dimana perbuatan itu
diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Kebijakan kriminalisasi juga dapat
dilihat sebagai asas pengendalian (principle of restrain) pada pendekatan
pergeseran peran atau fungsi pidana dari ultimum menjadi premium remedium yang
menyatakan sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila instrumen hukum
lain tidak efektif (asas subsidaritas) serta pendekatan apabila terdapat
perluasan dalam berlakunya hukum pidana.
Victor
Situmorang berpendapat bahwa “apabila ada kaidah hukum administrasi negara yang
diulang kembali menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila
ada pelanggaran kaidah hukum administrasi negara, maka sanksinya terdapat dalam
hukum pidana”
II.
Contoh Kasus Hukum Pidana
11 mei 2010, Bupati Kulon Progo
memberikan izin kegiatan penambangan besi kepada PT Jogja Magasa Iron di
wilayah pesisir selatan Kulon Progo. Hal itu bertentangan dengan Peraturan
Daerah tentang RT/RW Kulon Progo 2003-2013 yang menyatakan wilayah pesisir
pantai selatan hanya diperuntukkan bagi perikanan dan pertanian. Penambangan
besi juga tidak masuk dalam delapan jenis pertambangan yang ada dalam Perda
RTRW tersebut. Pelanggaran terhadap pasal 73 UU 26 tahun 2007, yakni Setiap
pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan
rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana
dengan pidana penjara paling lama (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00.
Contoh lain kasus hukum
pidana
Tim penyidik kasus Rawa
Tripa menggunakan jalur hukum pidana dan perdata untuk menangani tindakan
pembakaran dan pembukaan lahan gambut di Kabupaten Nagan Raya, Aceh itu. Ini
diharapkan menjadi contoh penanganan hukum atas kasus-kasus lingkungan.
"Kami (Kementerian
Lingkungan Hidup) maju secara pidana dan perdata. Pertanggungjawaban bisa ke
orangnya, korporat, atau keduanya. Nanti dilihat di pemberkasannya
bagaimana," ucap Sudariyono, Deputi Penaatan Hukum Lingkungan, Kementerian
Lingkungan Hidup, Jumat (18/5/2012), dihubungi dari Jakarta.
Ia mengatakan, kasus ini
selesai disidik di lapangan pada pekan lalu oleh tim penyidik gabungan KLH,
Polri, dan kejaksaan. Kini sedang dalam pemberkasan dan persiapan pemeriksaaan
saksi-saksi.
Kasus Rawa Tripa muncul
setelah Wahana Lingkungan Hidup dan beberapa LSM di Aceh menggugat Gubernur
Aceh karena menerbitkan izin perluasan 1.605 hektar di areal Kawasan Ekosistem
Leuser. Gugatan di PTUN Banda Aceh itu ditolak majelis hakim.
Kejanggalan pemberian izin
ini kemudian tercium oleh Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang juga Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+.
Kepala UKP4 Kuntoro
Mangkusubroto merekomendasikan agar penyidik Kementerian Lingkungan Hidup,
Polri, dan kejaksaan menangani kasus ini.
Sudariyono mengatakan,
secara pidana aksi perusahaan (PT Kalista Alam dan Surya Panens Subur 20)
melakukan pembakaran dan pembukaan lahan melanggar UU Nomor 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Secara perdata, hal ini
merugikan karena menimbulkan kerusakan lingkungan.
III.
Contoh Kasus Hukum
Tata Negara
Rektor yang
Dipecat Tempuh Upaya Hukum YPIM Digugat Rp 3 Milyar
Kemelut antara
pejabat IKIP Mataram yang dipecat dengan Yayasan Pembina IKIP Mataram (YPIM)
bakal berkepanjangan. Setelah keluarnya SK pemecatan, Rektor IKIP Mataram
berserta 11 pejabat lainnya yang dipecat akan menempuh upaya hukum. Tak
tanggung-tanggung, gugatan dan laporan pidana dilayangkan sekaligus ke tiga lembaga
hukum. Ke mana saja gugatan dilayangkan?
REKTOR IKIP
Mataram Drs.H.Fathurrahim, M.Si yang dinonaktifkan melalui SK No.
15/YPIM/VII/2006 tertanggal 26 Juli 2006, tidak tinggal diam menyusul SK
pemberhentian yang diterimanya. Rektor beserta 11 pejabat yang dipecat menilai
SK yang ditandatangani Ketua YPIM Drs.HL.Azhar cacat.
Demikian pula dengan Rektor IKIP Mataram
yang baru dilantiknya, merupakan pejabat yang tak sah. ”Rektor baru yang
dilantik tidak sah, karena diputuskan secara sepihak,” cetusnya. Jika mengacu pada
Statuta menurutnya, pemilihan Rektor yang pelantikannya berlangsung di kediaman
Ketua YPIM Selasa (25/7) sore lalu, itu tidak prosedural.
Seharusnya, jika
pergantian rektor dilakukan, pemilihan dilakukan yayasan berdasarkan
pertimbangan yayasan. ”Namun ini mekanisme ini tak dilakukan,” ujarnya.
Menyinggung adanya tudingan pembangkangan yang dilakukan rektorat terhadap
yayasan ? Fathurrahim dengan tegas membantahnya.
”Tuduhan itu fintah,” cetusnya. Soal
pengelolaan dana oleh rektorat yang dipersoalkan yayasan menurutnya bahwa dalam
Statuta, ada otonomi dalam pengelolaan keuangan. ”Jadi kami bukan melakukan
pembangkangan dan kami juga tidak menolak eksistensi yayasan. Apa yang kami lakukan
itu mengacu pada Statuta tadi,” jelasnya.
Menyoal keluarnya SK
dan dalam dua hari ini, Rektor IKIP yang sah versi yayasan akan memulai
tugasnya di IKIP Mataram? Pihaknya katanya, akan tetap bertahan sambil menempuh
upaya hukum. ”Kami akan tetap berkantor di sini dan menjalankan tugas seperti
biasa. Selain itu kami juga akan melakukan perlawanan secara hukum,” tegasnya.
Langkah-langkah
hukum apa saja yang ditempuh? Didampingi kuasa hukumnya, Fathur
Rauzi, SH dan Karmal Maksudi, SH disebutkan bahwa ada tiga upaya hukum yang
ditempuh dalam waktu yang bersamaan. ”Tiga gugatan dan laporan pidana akan kami
layangkan serentak hari ini (kemarin-red),” jelasnya.
Layangkan Gugatan
Upaya hukum pertama
yang ditempuh yakni menggugat pengurus yayasan yakni Drs.HL.Azhar dkk ke
Pengadilan Negeri Mataram secara perdata. ”Ini berkaitan dengan kerugian
materiil dan immateriil yang ditimbulkan akibat keluarnya SK pemecatan
tersebut. Kami menggugat pihak yayasan sebesar Rp 3 milyar,” sebutnya.
Gugatan ke dua ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram. Persoalan yang digugat melalui
lembaga ini yakni menyangkut keabsahan SK pemecatan tersebut. Kemudian ke Polda
NTB, laporan pidana dilayangkan karena akibat SK pemecatan tersebut telah
menimbulkan perasaan tak nyaman dan bahkan bisa pencemaran nama baik. ”Kalau ke
Polda NTB siapa-siapa pelaku dari tindak pidaan itu, tergantung penyelidikan
polisi,” terang Fathur Rauzi.
Apapun langkah yang
ditempuh pihak-pihak yang bertikai ini, dikhawatirkan yang menjadi korban
adalah mahasiswa. ”Saya tinggal menunggu ujian skripsi. Kemelut ini terus
terang sangat mempengaruhi konsentrasi saya menghadapi ujuan akhir ini,” keluh
seorang mahasiswa yang enggan di sebut namanya.
Kemelut di tubuh IKIP
Mataram ini menurutnya, sebenarnya sudah terjadi lama. ”Ada kecenderungan pihak
Rektorat tidak transparan dalam mengelola dana dari mahasiswa,” ujarnya.
Ungkapan senada juga dilontarkan mahasiswi lainnya. ”Pengelolaan dana inilah
yang sejak awal menjadi pemicu yang tak menemukan penyelesaian,” ujarnya.
Memang katanya,
gebrakan yang dilakukan Rektor Fathurrahim cukup bagus. Sejak kepemimpiannya,
IKIP Mataram mengalami perkembangan yang patut dibanggakan. ”Ada fakultas baru
yang dibuka. Mahasiswa setiap tahun terus bertambah dan banyak yang tertarik
masuk ke sini. Kami akui banyak kemajuan,” aku mahasiswi semester II Fakultas
MIPA ini. ”Namun itu tadi, soal pengelolaan dana yang selalu jadi masalah,”
katanya.
Namun demikian,
apapun persoalan yang saat ini berkecamuk di tubuh IKIP Mataram, mahasiswa
tidak ingin menjadi korban. ”Jangan korbankan kami. Sudah cukup banyak biaya
yang kami keluarkan untuk menempuh studi di sini. Jangan kuburkan cita-cita dan
masa depan kami karena konflik ini,” harapnya.
IV.
contoh Kasus Hukum Internasional
Hukum internasional
Iran: sanksi Barat langgar hukum
internasional
Rabu, 10 Oktober 2012 09:32 WIB | 1665
Views
Fasilitas pengayaan uranium di Isfahan,
Iran. Pengolahan urania di fasilitas ini dicurigai menjadi bagian program
rahasia pengembangan senjata nuklir. (wikipedia.org)
Berita Terkait
Qatar-UAE ajukan permintaan pertahanan
rudal senilai 7,6 miliar dolar
Iran akan bereaksi keras terhadap sanksi
minyak Barat
Netanyahu-Hollande bicarakan program
nuklir Iran
Iran kecam pernyataan Menhan Inggris
soal program nuklir
Hillary: pemimpin Iran bisa disalahkan
karena krisis mata uang
Teheran (ANTARA News) - Kepala Staf
Gabungan Angkatan Bersenjata Iran Mayor Jenderal Hassan Firouzabadi mengutuk
sanksi AS dan Uni Eropa terhadap Relublik Islam tersebut sebagai
bertolak-belakang dengan hukum internasional.
Menurut laporan Press TV yang dikutip
Xinhua, pada Selasa (9/10) komandan militer Iran itu mengatakan bahwa embargo
Barat bukan hanya bertentangan dengan kedaulatan dan kemerdekaan satu negara,
tapi juga melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Firouzabadi menyebut pengenaan
sanksi-sanksi itu sebagai tindakan sia-sia dan menyatakan bahwa Republik Islam
Iran telah membuat larangan Barat tidak efektif melalui peningkatan kegiatan
penelitian.
Dewan Keamanan PBB menjatuhkan empat
babak sanksi atas Iran antara 2006 dan 2010 sehubungan dengan penolakannya
untuk menghentikan program pengayaan uranium, yang dicurigai negara Barat dapat
digunakan untuk membuat senjata nuklir.
Amerika Serikat dan Uni Eropa telah
menjatuhkan dan memperluas sanksi mereka sendiri selama bertahun-tahun kendati
Teheran berkeras program nuklirnya semata-mata digunakan untuk tujuan damai.
Di bawah tekanan ekonomi dan politik
Barat karena program nuklir kontroversialnya, nilai mata uang Iran telah
merosot terhadap mata uang asing secara mencolok sejak awal tahun ini.
Negara Persia itu mengalami inflasi
tinggi dan banyak kasus kenaikan harga komoditas sampai lebih dari 50 persen.
Kendati demikian sebagian besar pejabat
garis keras Iran tetap membantah sanksi Barat telah memukul perekonomian negara
mereka dan tak akan mundur dari program pengayaan uranium.
V.
Contoh Kasus Hukum Agraria
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan
dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya
kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
·
Harga
tanah yang meningkat dengan cepat.
·
Kondisi
masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
·
Iklim
keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan
kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa
dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan;
perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang
diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat
diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan
(masyarakat dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu :
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan
sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan
hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya
dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.
Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan
Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim /
pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi
kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang
pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan
hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut,
mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut
koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk
melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang
pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada
Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
1. mengenai masalah status tanah,
2. masalah kepemilikan,
3. masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar
pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat
tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan
mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan
tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah
pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data
yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang
jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta
penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota
setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut
telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah
yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan
hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak
atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka
apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan
penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat
dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat
Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal
Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila
Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap
suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan
asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan
ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani
kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan
Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat
dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan
melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional
diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara
damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu,
bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula
disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para
pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian
dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang
pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat
hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan
pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan
hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut
langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung
oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian
diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan
diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
yang bersangkutan.
Kekuatan Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud
dengan membuktikan adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian
alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan
pembuktian, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para
pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para
pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan
pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah
menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta
tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan
bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.
SERTIFIKAT
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Kekuatan Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah
yang diberikan itu adalah berlaku sebagai tanda bukti hak atas tanah yang
mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas tanah.
2. Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa
yang tercantum didalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan
suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
Hal – Hal yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal
utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah:
1) Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak
jelas, akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki
sertifikat masing-masing.
2) Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.
Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah
pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara
ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya
petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah
ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan
liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik
masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3) Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata
didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas
tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat
dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah
membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama
ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan
memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini
merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian?
karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan
agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
VI.
Contoh Kasus Hukum Adat
Hukum Adat di Papua
MASYARAKAT Papua tidak hanya memiliki
keunikan di bidang sosial dan budaya, tetapi juga persoalan hukum pun sangat
unik. Dari 310 suku di Papua masing-masing memiliki hukum adat tersendiri yang
masih bertahan hingga kini. Hukum adat lebih dominan dalam kehidupan masyarakat
karena dinilai lebih menguntungkan pihak korban daripada hukum positif.
WAKIL Ketua Pengadilan Negeri Timika
Johanes Panji Prawoto, Jumat (23/4), mengatakan, masyarakat lebih suka
menyelesaikan semua perkara secara adat daripada penyelesaian sesuai hukum
positif. Padahal, hukum ini mengikat seluruh warga negara untuk menaati dan
menjalankan hukum perdata maupun pidana.
Persoalannya, hukum adat lebih menguntungkan korban atau penggugat daripada hukum pidana atau perdata. Denda berupa hewan ternak, uang, tanah, dan harta benda lain yang harus ditanggung pelaku terhadap korban, bahkan denda-denda macam itu bisa bernilai miliaran rupiah. Denda seperti itu jelas lebih berat bila dibandingkan dengan putusan di pengadilan negeri (PN).
“Di sini, kasus pembunuhan misalnya.
Mereka selalu menyebut dalam bahasa adat, ’ganti rugi kepala manusia’ atau
mengganti benda yang bernilai miliaran rupiah. Jika tidak dalam bentuk uang,
diganti ternak babi sampai ratusan ekor. Apalagi menyangkut kasus asusila. Pihak
pelaku harus mampu menunjukkan kepada keluarga wanita bahwa ia berani berbuat
dan berani juga bertanggungjawab,” kata Panji.
Oleh karena itu, masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat. Kadang-kadang kasus itu telah dilimpahkan polisi ke kejaksaan, tetapi pihak keluarga korban menolak untuk diproses sesuai hukum positif. Pihak keluarga korban tetap berusaha agar diselesaikan secara adat. Di sisi lain, keluarga tersangka/pelaku menghendaki kasus itu diselesaikan di pengadilan negeri.
Adapun Karel Beanal, Wakil Ketua Lembaga
Adat Suku Amungme Mimika mengatakan, masyarakat lebih tertarik menyelesaikan
semua kasus di melalui hukum adat karena masyarakat menilai hukum adat lebih
adil dan dipahami semua warga. Hukum adat sejak nenek moyang telah diterapkan
di kalangan masyarakat dan mereka tahu bagaimana cara mengambil keputusan di
dalam musyawarah adat itu.
Hukum Adat di Aceh
Aceh adalah
salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat
dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya
institusi-institusi adat di tingkat gampông atau mukim. Meskipun Undang-undang
no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di
Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang
peranan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam
masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh
terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini
juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan
bermasyarakat,
Ureueng
Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam
masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang
sudah terbentuk.
Lembaga-lembaga
adat dimaksud seperti Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang, Haria
Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing
sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampông trepelihara.
Misalnya,
Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan
hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga
tersebut. Begitu pun dengan lembaga lainnya.
Lembaga-lembaga
adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus
globalisasi dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh.
Padahal, jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampông,
kampung tersebut akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.
Salah satu
contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di
Gampông Barô. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami
menelan kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku
adat di kampungnya, masyarakat Gampông Barô sekarang sudah memiliki
perkampungan yang baru, yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.
Tak pernah
terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada
pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah
terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi
dalam pengambilan keputusan.
Kasus lain
pernah terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih paham dengan
desa Lam Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah
dapat diselesaikan secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya
masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak
memerlukan polisi dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk
masalah dapat diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.
Jika kita
lihat hukum yang dipakai oleh aparatur negara (polisi), selalu berujung pada
penjara dan denda. Penyalahgunaan hukum oleh aparatur penegak hukum itu pun
sering kita dengar. Misalkan saja ketika seseorang silap tak memakai helm di
jalan raya. Orang itu langsung dijatuhi denda sampai Rp 50 ribu. Hal ini pernah
menimpa beberapa pengendara sepeda motor yang melintas di jalan depan
Perpustakaan Daerah NAD. Ketika yang melakukan kesalahan adalah penegak hukum
atau kerabatnya, orang tersebut bisa bebas begitu saja. Artinya hukum yang
dipakai tidak berlaku pada penegak hukum.
Dalam hukum
adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai
dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu
saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat
jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan
menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah di
hadapan orang banyak (biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan
denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian
ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.
Menilik
hukum yang diselenggarkan oleh aparatur hukum negara ini, apakah sudah sesuai
dengan syariat Islam jika dengan segampangnya meminta uang denda kepada orang
yang silap tidak mengenakan helm tanpa menasihati dan memperingati terlebih
dahulu? Oleh karena Aceh ini sudah diterapkan syariat Islam, hukum di Aceh
hendaknya jangan bertentangan dengan hukum Islam. Islam tidak pernah
memberatkan atau mempersulit penganutnya. Hukum adat di Aceh selalu berpedoman
kepada alquran dan assunnah. Hal ini juga sesuai dengan qanun NAD nomor 7 tahun
2000 bab II pasal 2.
Lahirnya UU
no.11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintah Indonesia telah mulai berpihak
kepada rakyat Aceh. Di sana mulai diakui keberadaan mukim dan gampông serta
lembaga adat lainnya.
Dijelaskan
dalam bab XIII pasal 98, bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai
wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang
keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
Lembaga-lembaga
adat dimaksud ada yang di tingkat gampông dan ada yang di tingkat mukim. Jika
lembaga adat ini diberikan wewenang sesuai undang-undang dan peraturan yang
berlaku dalam masyarakat, niscaya sumber daya alam di gampông tersebut lestari
dan terjaga. Maka masyarakat Aceh akan kembali jaya seperti zaman kesultanan
dahulu, karena hukum adat selalu pro rakyat
B. HUKUM PRIVAT
I.
Contoh kasus hukum perdata
Kasus
Perceraian
Seorang
istri yang hendak mengajukan gugatan cerai pada suaminya di Pengadilan Agama
(PA) dengan data sebagai berikut :
Nama : Rani Anggraeni
Umur : 32 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status : Menikah
Anak : 1 anak laki-laki, umur 4 tahun
Permasalahan
/ Kronologis
Rani Anggraeni menikah di Jakarta dengan
suaminya 6 tahun yang lalu (th 2005). Dikaruniai 1 orang putra berumur 4 tahun.
Sudah lama sebenarnya Rani mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Suaminya
adalah mantan anak orang kaya yang tidak jelas kerjanya apa dan sering
berprilaku sangat kasar pada Rani, seperti membentak, berkata kotor, melecehkan
dan yang terparah adalah sering memukul. Sehingga akhirnya Rani sering tidak
tahan sampai berpikir untuk bercerai saja. Adanya musyawarah dan pertemuan
keluarga sudah diadakan beberapa kali tapi tetap tidak merubah prilaku suaminya
tersebut. Bahkan sedemikian parahnya dimana si suami melepas tanggung-jawabnya
sebagai seorang suami dan ayah karena sudah 2 tahun ini si suami tidak
memberikan nafkah lahir untuk sang Istri dan anaknya. Sampai akhirnya, Rani
merasa terancam jiwanya dimana terjadi kejadian pada bulan April 2011, Rani
dipukul / ditonjok matanya sampai biru yang berujung pada kekerasan terhadap
anak semata wayangnya juga. Setelah kejadian itu Rani memutuskan untuk bercerai
saja.
II.
CONTOH KASUS HUKUM PERDAGANGAN
SENGKETA MEREK DAGANG INTERNASIONAL
KASUS POSISI
-
Newk Plus Four
Far East (PTE) Ltd, yang berkantor pusat di 60 B Martin Road 05-05/06
Singapore, Warehouse Singapore 0923 adalah pemakai pertama merek “LOTTO” untuk
barang-barang pakaian jadi, kemeja, baju kaos, jaket, celana panjang, roks pan,
tas, koper, dompet, ikat pinggang, sepatu, sepatu olah raga, baju olah raga,
kaos kaki olah raga, raket, bola jaring (net), sandal, selop, dan topi.
-
Merek dagang
“LOTTO” ini terdaftar di Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman
tanggal 29/6/1979, dengan No. 137430 dan No. 191962 tanggal 4/3/1985.
-
Pada 1984
Direktorat Paten dan Hak Cipta Departemen Kehakiman telah menerima pendaftaran
merek “LOTTO” yang diajukan oleh Hadi Darsono untuk jenis barang handuk dan
sapu tangan dengan No. 187.824 pada tanggal 6/11/1984, pendaftaran merek LOTTO
untuk kedua barang tersebut tercantum dalam tambahan Berita Negara RI No.
8/1984 tanggal 25/5/1987.
-
Penggunaan merek
“LOTTO” oleh Hadi Darsono hampir sama dengan merek yang digunakan pada
barang-barang produksi PTE Ltd.
-
Walaupun Hadi
menggunakan merek LOTTO untuk barang-barang yang tidak termasuk dalam
produk-produk Newk Plus Four Far East (PTE) Ltd., namun kesamaan merek LOTTO
tersebut dinilai amat merugikannya.
-
Akhirnya pihak
Newk Plus Four Far East Ltd Singapore, mengajukan gugatan perdata di pengadilan
terhadap Hadi Darsono sebagai Tergugat I dan Direktorat Paten dan Hak Cipta
Departemen Kehakiman (Bagian Merek-merek) sebagai Tergugat II.
-
Pihak Penggugat
mengajukan tuntutan (petitum) yang isi pokoknya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sebagai hukum bahwa Penggugat sebagai
pemakai pertama di Indonesia atas merek dagang LOTTO dan karena itu mempunyai
hak tunggal/khusus untuk memakai merek tersebut di Indonesia;
3. Menyatakan bahwa merek LOTTO milik Tergugat I yaitu
yang didaftarkan pada Tergugat II dengan nomor register 187824, adalah sama
dengan merek Penggugat baik dalam tulisan, ucapan kata maupun suara, dan oleh
karena itu dapat membingungkan, meragukan serta memperdaya khalayak ramai
tentang asal-usul dan kwalitas barang-barang;
4. Menyatakan batal, atau setidak-tidaknya membatalkan
pendaftaran merek dengan register nomor 187824 dalam daftar umum atas nama
Tergugat I, dengan segala akibat hukumnya;
5. Memerintahkan Tergugat II untuk mentaati keputusan ini
dengan membatalkan pendaftaran merek dengan nomor reg. 187824 dalam daftar
umum;
6. Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara;
7. Atau menurut kebijaksanaan Hakim.
PENGADILAN
NEGERI
-
Hakim pertama
memberi pertimbangan sebagai berikut:
-
Dari bukti P1
dan P2 terbukti bahwa “Merek LOTTO” milik Penggugat, terdaftar No. 137.430 dan
W 191.962 untuk melindungi jenis barang-barang: pakaian jadi, kemeja, dll.
-
Dari bukti P3
diketahui bahwa merek Tergugat I dengan kata “LOTTO” telah terdaftar pada
Direktorat Paten dan Hak Cipta dengan No. 187.824 untuk melindungi jenis barang
handuk dan sapu tangan.
-
Pasal 2(1) UU
Merek tahun 1961 menentukan, hak atas suatu merek berlaku hanya untuk
barang-barang sejenis dengan barang-barang yang dibubuhi merek itu.
-
Menurut pasal
10(1) UU Merek tahun 1961 tuntutan pembatalan merek hanya dibenarkan untuk
barang-barang sejenis.
-
Tujuan UU merek
tahun 1961 khususnya pasal 10(1) adalah untuk melindungi masyarakat konsumen
agar konsumen tidak terperosok pada asal-usul barang sejenis yang memakai merek
yang mengandung persamaan.
-
Menurut pendapat
Majelis, walaupun bunyi dari kedua merek Penggugat dan Tergugat I tersebut sama
yaitu LOTTO, tetapi pihak konsumen tidak akan dikaburkan dengan asal-usul
barang tersebut, karena jenis barang yang dilindungi adalah merek Penggugat
sangat berbeda dengan jenis barang yang dilindungi oleh merek Tergugat I.
-
Jurisprudensi
yang tetap antara lain Putusan MA-RI No. 2932 K/Sip/1982 tanggal 31/8/1983,
serta No. 3156 K/Pdt/1986 tanggal 28/4/1988, berisi: menolak pembatalan
pendaftaran merek dari barang yang tidak sejenis.
-
Pasal 1 SK
Menteri Kehakiman No. M-02-HC-01-01 tahun 1987 tanggal 15/6/1987 menyatakan
merek terkenal adalah merek dagang yang telah lama dikenal dan dipakai di
wilayah Indonesia oleh seseorang atau badan untuk jenis barang tertentu.
-
Majelis
berkesimpulan bahwa gugatan Penggugat tidak cukup berlasan, karenanya gugatan
Penggugat harus ditolak.
MAHKAMAH AGUNG
RI
-
Penggugat
menolak putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan mengajukan permohonan
kasasi dengan alasan Pengadilan Negeri salah menerapkan hukum, karena menolak
gugatan Penggugat. Pengadilan Negeri mengesampingkan kenyataan bahwa Penggugat
adalah pemakai pertama dari merek LOTTO di Indonesia. Ini merupakan syarat
mutlak untuk mendapatkan perlindungan hukum menurut UU Merek No. 21 tahun 1961.
Sementara itu, Tergugat I tidak dapat mengajukan bukti-bukti yang sah dengan
tidak dapat membuktikan keaslian bukti-bukti yang diajukannya.
-
Mohon Mahkamah
Agung konsisten pada putusannya dalam perkara merek terkenal Seven Up – LANVIN
– DUNHILL: MA-RI No. 689 K/SIP/1983 dan MA-RI No. 370 K/SIP/1983, yang isinya
sebagai berikut: Suatu pendaftaran merek dapat dibatalkan karena mempunyai
persamaan dalam keseluruhan dengan suatu merek yang terdahulu dipakai atau
didaftarkan, walaupun untuk barang yang tidak sejenis, terutama jika menyangkut
merek dagang terkenal. Pengadilan tidak seharusnya melindungi itikad buruk
Tergugat I. Tindakan Tergugat I, tidak saja melanggar hak Penggugat tetapi juga
melanggar ketertiban umum di bidang perdagangan serta kepentingan khalayak
ramai.
-
Mahkamah Agung
setelah memeriksa perkara ini dalam putusannya berpendirian bahwa judex facti
salah menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan selanjutnya
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini.
-
Pendirian Mahkamah
Agung tersebut di dasari oleh alasan juridis yang intinya sebagai berikut:
-
Newk Plus Four
Far East Ltd, Singapore telah mendaftarkan merek LOTTO di Direktorat Paten
& Merek Departemen Kehakiman RI tanggal 29/6/1976 dan 4-3-1985.
-
Merek LOTTO
secara umum telah terkenal di kalangan masyarakat sebagai merek dagang dari
luar negeri. Merek tersebut mempunyai ciri umum untuk melengkapi seseorang yang
berpakaian biasa atau berkaitan olah raga beserta perlengkapannya.
-
Merek LOTTO,
yang didaftarkan Tergugat I adalah jenis barang handuk dan saputangan, pada 6
Oktober 1984.
-
Mahkamah Agung
berpendapat, walaupun barang yang didaftarkan Tergugat I berbeda dengan yang
didaftarkan Penggugat, tetapi jenis barang yang didaftarkan Tergugat I
tergolong perlengkapan berpakaian seseorang. Dengan mendaftarkan dua barang
yang termasuk dalam kelompok barang sejenis i.c kelengkapan berpakaian
seseorang dengan merek yang sama, dengan kelompok barang yang telah didaftarkan
lebih dahulu, Mahkamah Agung menyimpulkan Tergugat I ingin dengan mudah
mendapatkan keuntungan dengan cara menumpang keterkenalan satu merek yang telah
ada dan beredar di masyarakat
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Setiap hukum harus mempunyai prinsip-prinsip
untuk mewujudkan tegaknya keadlian di sustu negara.
2.
Hukum formal adalah peraturan hukum yang
mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum
material.
3.
Dalam menyelesaikan masalah, kehakiman
memiliki wewenang yang bebas, tidak ada lembaga negara lainnya yang ikut campur.
4.
Fungsi hukum acara perdata yaitu meyelesaikan
masalah dalam mempertahankan kebenaran dan penuntutan.
5.
Dalam hukum acara pidana yaitu tata cara
penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan penuntutan.
6.
Hukum perdata adalah ketentuan-ketentuan yang
mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingan
(kebutuhan) nya.
7.
Dalam ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata
mengatur tentang kepentingan perseorangan antara lain : hukum pribadi, kukum
keluarga, hukum kekayaan dan hukum waris.
8.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum dan
perbuatan mana diancam dengan sanksi pidana tertentu.
9.
Peristiwa pidana atau juga disebut tindak
pidana (Delict) adalah suatu perbuatan atau rangkaian yang dapat dikenakan
hukuman pidana.
B. SARAN
1.
Kita harus
mempunyai kesadaran hukum yang tinggi, agar hukum di Indonesia dapat terlaksana
dengan jujur adil dan demokratis.
2.
Hendaknya kita
sebagai generasi penerus bangsa dapat meneruskan perjuangan para pahlawan
dengan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum.
3.
Supremasi hukum
di Indonesia hendaknya kita dukung sepenuhnya agar tercipta suasana yang tertib
dan aman di negara kita tercinta.
izin copas ya
BalasHapusia ...
BalasHapus