background img

LIfe Must gO ON...

pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa

  1. A. Sejarah Pancasila
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Pemahaman kembali sejarah lahirnya Pancasila bagi bangsa Indonesia dimanapun merupakan hal yang penting dalam memahami makna Pancasila sebagai sebuah ideologi.
1 Juni dan 1 Oktober di Negara Republik Indonesia merupakan dua tanggal yang memiliki nilai histori yang berarti bagi maju berkembangnya Pancasila sebagai ideologi Negara RI. Sesuai fakta yang ada bahwa 1 Juni diperingati sebagai tanggal lahirnya Pancasila, betapapun bahwa sesungguhnya pada 1 Juni 1945 Bung Karno bukanlah penemu maupun pencipta Pancasila, ia hanyalah penggali kembali ideologi yang sudah lama ada di kehidupan masyarkat Nusantara sejak dahulu kala. Fakta ini memiliki makna bahwa Pancasila lahir jauh sebelum 1 Juni 1945.

Jauh sebelum Republik Indonesia, Pancasila sudah dianut dan menjadi dasar filsafat serta ideologi Kerajaan Maghada pada Dinasti Maurya sejak dipimpin oleh raja yang gagah perkasa Ashoka (sekitar tahun 273 SM – 232 SM). Raja Ashoka merupakan penganut agama Buddha yang taat. Pancasila sendiri merupakan ajaran yang  diciptakan oleh Sang Buddha Siddharta Gautama, Pancasila merupaka ajaran yang harus diamalkan oleh setiap penganut agama Buddha bahkan sampai kini.
Dengan berkembangnya ajaran Buddha, termasuk ke Nusantara. Negara kedua setelah Kerajaan Maghada yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negaranya yaitu Kerajaan Majapahit di pulau Jawa yang berkembang hampir ke sepertiga Nusantara.
Dalam rapat BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan antara lain berbunyi :”Saudara-saudara ! Dasar negara telah saya sebutkan, lima bilangannya. Inikah Panca Dharma ? Bukan ! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar…..Namanya bukan Panca Dharma, tetapi….saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa…..namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. Kelima sila tadi berurutan sebagai berikut:
(a) Kebangsaan Indonesia;
(b) Internasionalisme atau perikemanusiaan;
(c) Mufakat atau demokrasi;
(d) Kesejahteraan sosial;
(e) Ke-Tuhanan.
Rumusan Pancasila ini kemudian dituangkan ke dalam bentuk Pancasila (lebih dikenal dengan Pancasila I) dan selanjutnya diubah lagi menjadi Pancasila II. Rumus Pancasila II ini atau lebih dikenal dengan Pancasila menurut Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, baik mengenai sistematikanya maupun redaksinya sangat berbeda dengan Rumus Pancasila I atau lebih dikenal dengan Pancasila Bung Karno tanggal 1 Juni 1945. Pada rumus pancasila I, Ke-Tuhanan yang berada pada sila kelima, sedangkan pada Rumus Pancasila II, ke-Tuhanan ada pada sila pertama, ditambah dengan anak kalimat – dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian pada Rumus Pancasila I, kebangsaan Indonesia yang berada pada sila pertama, redaksinya berubah sama sekali menjadi Persatuan Indonesia pada Rumus Pancasila II, dan tempatnyapun berubah yaitu pada sila ketiga. Demikian juga pada Rumus Pancasila I, Internasionalisme atau peri kemanusiaan, yang berada pada sila kedua, redaksinya berubah menjadi Kemanusiaan yang adil dan beradab. Selanjutnya pada Rumus Pancasila I, Mufakat atau Demokrasi, yang berbeda pada sila ketiga, redaksinya berubah sama sekali pada Rumus Pancasila II, yaitu menjadi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan menempati sila keempat. Dan juga pada Rumus Pancasila I, kesejahteraan sosial yang berada pada sila keempat, baik redaksinya, maka Pancasila pada Rumus II ini, tentunya mempunyai pengertian yang jauh berbeda dengan Pancasila pada Rumus I.
Namun isi dari Piagam Jakarta selanjutnya juga diubah pada sila pertama dengan menghilangkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
  1. B. Konsep dan Teori Pancasila
    1. 1. Ideologi Pancasila
Pancasila dijadikan ideologi dikerenakan, Pancasila memiliki nilai-nilai falsafah mendasar dan rasional. Pancasila telah teruji kokoh dan kuat sebagai dasar dalam mengatur kehidupan bernegara. Selain itu, Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia kemudian nilai kandungan Pancasila dilestarikan dari generasi ke generasi. Pancasila pertama kali dikumandangkan oleh Soekarno pada saat berlangsungnya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI).
Pada pidato tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut). Tepat 64 tahun usia Pancasila, sepatutnya sebagai warga negara Indonesia kembali menyelami kandungan nilai-nilai luhur tersebut.
Ketuhanan (Religiusitas)
Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia. Memahami Ketuhanan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang beketuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridha Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya.
Kemanusiaan (Moralitas)
Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan, sebab setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab. Manusia yang maju peradabannya tentu lebih mudah menerima kebenaran dengan tulus, lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, dan mengenal hukum universal.
Persatuan (Kebangsaan) Indonesia
Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian, kehadiran Indonesia dan bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa. Bangsa Indonesia hadir untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa dari Sabang sampai Marauke. Persatuan Indonesia, bukan sebuah sikap maupun pandangan dogmatik dan sempit, namun harus menjadi upaya untuk melihat diri sendiri secara lebih objektif dari dunia luar.
Permusyawaratan dan Perwakilan
Prinsip-prinsip kerakyatan yang menjadi cita-cita utama untuk membangkitkan bangsa Indonesia, mengerahkan potensi mereka dalam dunia modern, yakni kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah menguasai diri, walau berada dalam kancah pergolakan hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaharuan. Hikmah kebijaksanaan adalah kondisi sosial yang menampilkan rakyat berpikir dalam tahap yang lebih tinggi sebagai bangsa, dan membebaskan diri dari belenggu pemikiran berazaskan kelompok dan aliran tertentu yang sempit.
Keadilan Sosial
Nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihakkan, keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu hal. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa. Segala usaha diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai secara merata.
  1. 2. Arti dan Makna Pancasila

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan.
Sebagai suatu sistem filsafat landasan sila-sila Pancasila itu dalam hal isinya menunjukkan suatu hakikat makna yang bertingkat, serta ditinjau dari keluasannya memiliki bentuk piramidal. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan yang telah menyangkut praktis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu:
  1. Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-sila Pancasila yang merupakan inti sari Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan konkrit.
  2. Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.
  3. Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit, yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat khusus konkrit serta dinamis

  1. C. Pancasila dalam Konteks Indonesia
Sebagai suatu cita-cita, nilai-nilai Pancasila diambil dimensi idealismenya. Sebagai nilai-nilai ideal, penyelenggara Negara hendaknya berupaya bagaimana menjadikan kehidupan bernegara di Indonesia semakin dekat dengan nilai-nilai tersebut.
Pancasila sebagai nilai integratif, sebagai sarana pemersatu dan prosedur penyelesaian konflik perlu pula dijabarkan dalam praktik kehidupan bernegara. Pancasila sebagai sarana pemersatu dalam masyarakat dan prosedur penyelesaian konflik itulah yang terkandung dalam nilai integratif Pancasila. Pancasila sudah diterima oleh masyarakat Indonesia sebagai suatu kesepakatan bersama bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya disetujui sebagai milik bersama. Pancasila menjadi semacam social ethies dalam masyarakat yang heterogen.
Nilai dalam etika sosial memainkan peranan fungsional dalam Negara dan berupaya membatasi diri pada tindakan fungsional. Jadi, dengan etika sosial Negara bertindak sebagai penengah di antara kelompok masyarakatnya, Negara tidak perlu memaksakan kebenaran suatu nilai, Negara tidak mengurusi soal benar tidaknya satu agama dengan agama lain melainkan yang menjadi urusannya adalah bagaimana konflik dalam masyarakat, misal, soal kriteria kebenaran dapat didamaikan dan integrasi antarkelompok dapat tercipta.
Pancasila adalah kata kesepakatan dalam masyarakat bangsa. Kata kesepakatan ini mengandung makna pula sebagai konsensus bahwa dalam hal konflik maka lembaga politik yang diwujudkan bersama akan memainkan peran sebagai penengah. Fungsi Pancasila disini adalah bahwa dalam hal pembuatan prosedur penyelesaian konflik, nilai-nilai Pancasila menjadi acuan normatif bersama.

  1. D. Konsekuensi Pancasila Bagi Masyarakat Bangsa dan Negara
Pancasila dapat dianalogikan seperti halnya air yang mutlak perlu dalam kehidupan kita. Namun ada perbedaan mendasar. Air mampu menjelmakan dirinya dalam bermacam bentuk, sedangkan Pancasila tidak. Pancasila tidak bisa menjelmakan diri, akan tetapi penjelmaannya dalam bentuk-bentuk pelaksanaan yang dilaksanakan oleh segenap bangsa Indonesia.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita selaku bangsa Indonesia sudah mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dengan sebaik-baiknya? Dalam pelaksanaan pengamalan nilai-nilai Pancasila itu kita bisa mempertimbangkan factor-faktor pendorong pengamalannya. Untuk menegaskan kepada diri kita sendiri, maka hal-hal yang dikenal sebagai pendorong pelaksanaan Pancasila itu adlah:
  1. Bahwa revolusi kemerdekaan kita, kita mulai dengan jiwa, hasrat sedalam-dalamnya di atas suatu filsafat fundamental, yaitu Pancasila.
  2. Bahwa Pancasila adalah landasan idiil untuk merealisasikan dasar dan tujuan revolusi kita, yaitu membebaskan Indonesia dari imperialism dan menegakkan NKRI dalam suatu kesatuan masyarakat yang adil dan makmur secara materil dan spiritual.
  3. Bahwa penyelenggaraan kehidupan Negara kita berdasarkan atas suatu hukum dasar Negara yang mengandung cita-cita hukum yang mewajibkan penyelenggara Negara, pemimpin pemerintahan, dan juga warga Negara lainnya untuk memiliki semangat yang dinamis guna memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur untuk merealisasikan cita-cita hukum seperti tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berpusat pada Pancasila.
  4. Bahwa kita setiap orang Indonesia diharapkan menjadi manusia sosialis-Indonesia yang mendasarkan cipta, rasa, karsa dan karya kita atas Pancasila.
Adapun pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara dapat dilakukan dengan cara:
  1. Pengamalan secara objektif
Pengamalan secara objektif adalah dengan melaksanakan dan menaati peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum Negara yang berlandaskan Pancasila.
  1. Pengamalan secara subjektif
Pengamalan secara subjektif adalah dengan menjalankan nilai-nilai Pancasila yang berwujud norma etik secara pribadi atau kelompok dalam bersikap dan bertingkah laku pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengamalan secara objektif membutuhkan dukungan kekuasaan Negara dalam mewujudkannya. Seorang warga Negara atau penyelenggara Negara yang berperilaku menyimpang dari aturan perundang-undangan yang berlaku akan mendapatkan sanksi. Pengamalan secara objektif bersifat memaksa serta adanya sanksi hukum. Adanya pengamalan objektif ini adalah konsekuensi dari mewujudkan nilai dasar Pancasila sebagai norma hukum negara.
Selain pengamalan objektif, pengamalan subjektif juga mesti diterapkan. Dalam rangka pengamalan subjektif ini, Pancasila menjadi sumber etika dalam bersikap dan bertingkah laku. Melanggar norma etik tidak mendapatkan sanksi hukum tapi sanksi dari personal. Adanya pengamalan subjektif ini adalah konsekuensi dari mewujudkan nilai dasar Pancasila sebagai norma etik berbangsa dan bernegara.
  1. E. Permasalahan Mendasar Implementasi Pancasila di Indonesia
    1. 1. Pengadopsian Nilai-nilai Luar
Pancasila sebagai dasar Negara dan landasan idiil bangsa Indonesia, dewasa ini dalam zaman reformasi telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi selama lebih dari lima puluh tahun. Namun sebaliknya sakralisasi dan penggunaan berlebihan dari ideologi Negara dalam format politik orde baru banyak menuai kritik dan protes terhadap Pancasila.
Sejarah implementasi pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus bukan dalam pengertian keabsahan substansialnya, tetapi dalam konteks implementasinya. Tantangan terhadap pancasila sebagai kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya berasal dari faktor domestik, tetapi juga dunia internasional.
Pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian Pancasila sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, kini zaman globalisasi begitu cepat menjangkiti negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa meminggirkan pancasila dan dapat menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.
  1. 2. Mulai Hilangnya Kekuatan terhadap Relevansi Pancasila
Dengan hadirnya globalisasi, hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara berubah. Namun sayangnya kearifan lokal bangsa Indonesia yang diharapkan mampu mem-filter ekses negatif dari luar tidak bisa menyeimbangkan dengan kondisi yang ada sehingga lambat laun keyakinan terhadap relevansi Pancasila menjadi pudar. Hal ini berdampak luas terhadap implementasi nilai-nilai Pancasila.
  1. 3. Semangat Reformasi yang Kebablasan
Reformasi demokrasi yang kebablasan pada saat ini telah menghasilkan amandemen UUD yang telah menghilangkan ruh, jiwa serta semangat yang terkandung didalam pembukaan UUD itu sendiri, dengan begitu tidaklah heran ketika bangsa ini menjadi kehilangan arah dan jati dirinya.
  1. Kurangnya Kemampuan Bangsa Mengintegrasikan Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan
Pancasila dalam praktiknya saat ini banyak ditinggalkan dan hanya tinggal sebatas slogan tanpa adanya pemaknaan lebih jauh, apalagi untuk mengimplementasikannya.

  1. Budaya Bangsa
Dalam konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus-menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg. Kalau kita perhatikan ideologi-ideologi besar di dunia saat ini, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru.

0 komentar:

Posting Komentar

Sponsor Halaman

Sponsor Halaman
Produk Fashion

Iklan

Contoh banner 2

Sponsor Halaman

Popular Posts